Sabar dan Senyuman - Puisi Gusmawitri

Sabar dan Senyuman - Puisi by Gusmawitri Agam 31 Januari 2025

Sabar dan Senyuman gusmawitri agam
Sabar dan Senyuman

Sabar dan Senyuman

Sabar dan senyuman itu seperti menikmati Pop Mie dengan cabe hijau dan pisau di sampingnya.

Tak perlu membalas api dengan api, karena kobaran hanya akan semakin membesar. 
Sebaliknya, jadilah embun yang menyejukkan, kata-kata lembut yang menenangkan, dan keheningan yang penuh pengertian. 
Sebab, dalam setiap amarah yang meledak, selalu ada hati yang menunggu untuk dipahami.

Sabar bukan berarti diam tanpa suara, melainkan memilih untuk tetap tenang meski hati ingin bergejolak. 
Sebab, pada akhirnya, mereka yang mampu bersabar di hadapan emosi orang lain adalah mereka yang memiliki kendali atas dirinya sendiri. 
Dan di sanalah kebijaksanaan sejati bersemayam.

Sabar dan senyum adalah kekuatan yang tak terlihat namun mampu meredakan badai emosi. 
Saat seseorang datang dengan amarah, jangan biarkan dirimu terbawa arusnya. 
Sebaliknya, jadilah seperti air yang menyejukkan, bukan api yang menyulut.

Senyummu bukan tanda kelemahan, melainkan bukti kedewasaan. Sabar yang kau tunjukkan bukan berarti mengalah, tetapi memilih untuk tidak terprovokasi. Karena dalam kesabaran ada ketenangan, dan dalam senyuman ada ketulusan yang mampu meluluhkan hati yang sedang bergejolak.

Kadang, seseorang yang sedang emosi hanya butuh didengar, bukan dilawan. Maka, dengarkan dengan hati, balas dengan ketenangan, dan biarkan senyummu menjadi cahaya yang meredakan kegelapan amarah.

Sabar itu seperti menikmati Pop Mie dengan cabe hijau dan pisau di sampingnya.
Air sudah mendidih, perut sudah lapar, tapi Pop Mie butuh waktu untuk matang. 
Kalau buru-buru, mie masih keras, bumbu belum meresap, dan rasanya kurang nikmat. 
Begitu juga dengan kesabaran—menahan diri sejenak bisa membawa hasil yang lebih baik.

Cabe hijau ada di sana, menggoda untuk langsung digigit. 
Pedasnya bisa membuat lidah terbakar, seperti emosi yang meledak tanpa kendali. 
Tapi jika dinikmati dengan perlahan, pedasnya justru menambah nikmat, 
seperti kesabaran yang akhirnya membawa ketenangan.

Pisau ada di sisi, siap digunakan. 
Tapi bukan untuk melukai, melainkan untuk membantu—seperti kata-kata yang bisa menenangkan atau malah melukai. 
Pilihan ada di tangan, apakah ingin menggunakannya dengan bijak atau membiarkannya menjadi alat yang melukai.

Jadi, sabar itu seperti menunggu Pop Mie matang, 
menikmati pedasnya cabe dengan tenang, 
dan memegang pisau dengan bijak. 
Semua ada waktunya, semua ada tempatnya.

Lubuk Basung, 31 Januari 2025